Pengalaman
saat mengajar anak jalanan di bantaran rel kereta api merupakan kegiatan saya
yang pertama kali seumur hidup dan sampai kini masih berkesan di benak saya,
kegiatan seperti itu pun saya lakukan sampai saat ini. Disini saya akan lebih
banyak bercerita tentang pengalaman mengajar terkait metode, media, dan materi
apa yang diberikan kepada mereka yang notabenenya mempunyai sikap yang begitu
‘ekstrim’ alias berbeda dengan anak normal pada umumnya.
Saya
tergabung dalam ikatan pengajar anak jalanan sejak menduduki dimasa perkuliahan
lebih tepatnya pada semester dua di jurusan PLS sekarang berganti nama PNF
UNESA. Program yang saya ikuti itu merupakan buah hasil dari Proker Himpunan
Mahasiswa Jurusan PNF, yaitu suatu program kerja yang memberikan kontribusi
langsung kepada masyarakat yang mungkin mereka belum sama sekali tersentuh pada
dunia pendidikan atau sudah mendapatkan layanan pendidikan tetapi belum secara
maksimal.
Pertama
kali saat mengajar pun saya terkejut, kaget, shock melihat keadaan di lapangan
ditambah lagi sikap mereka yang sulit diatur, kemampuan mereka seperti membaca,
menulis, serta berhitung pun sangat miris sekali. Dengan rasa optimistis dari
pengajar ingin meningkatkan kemampuan, pemahaman dan yang paling penting
merubah perilaku mereka segera dapat terwujud, meskipun butuh waktu yang lama,
serta perlu adanya metode-metode yang pas dalam proses pengajaran berlangsung.
Dengan
berjalannya waktu, saya ditunjuk sebagai koordinator sekaligus penanggung jawab
pada program tersebut menggantikan posisi kakak tingkat yang saat ini masih PKL
di Jakarta, hal ini merupakan suatu apresiasi bagi saya, disisi lain saya
mengemban tugas yang begitu berat. Saya mencoba berpikir berulang kali dalam menjalankan
program kali ini, mulai merekrut pengajar yang berkompeten (tentu pengajarnya
dari teman sendiri), membuat jadwal pengajar, memantau secara teknis dalam
pengajaran, membuat silabus atau kurikulum namun kurikulum tersebut ditiadakan
dikarenakan adanya keragaman umur, interval tingkatan kelas, serta kemampuan
dalam menangkap materi. Oleh karena itu, kurikulum tersebut diganti dengan
konsep ‘apa yang mereka butuhkan pasti kami beri’ misalnya, seorang peserta
didik kurang memahami tentang materi X, maka kita sebagai pengajar harus
memberikan penguatan, pemahaman materi sampai mereka benar-benar bisa, dalam
konsep tersebut yang dirasa cocok untuk penerapan dalam proses pengajaran
tersebut. Materi yang kita ajarkan pada kegiatan belajar-mengajar tergantung
mereka butuhkan seperti Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia,
PKN, dan lain sebagainya.
Ketersediaan
ruang, media atau fasilitas belajar yang sangat minim tidak sebanding jumlah
peserta didik membuat proses belajar mengajar sangat terganggu, kadang kalanya
mereka tidak focus dalam penerimaan materi. Dengan hal ini, saya mencoba
melengkapi kekurangan-kekurangan tersebut dengan memasang poster pada
dinding-dinding ruang, menyediakan meja, penerangan, memberikan buku bacaan, serta
alat tulis kepada mereka, kadang kalanya juga memberikan metode belajar yang
berbeda yaitu dengan memutarkan film edukatif agar mereka tidak mudah jenuh
saat belajar, serta motivasi mereka akan meningkat.
Jika
berbicara tentang metode yang diterapkan tentunya tidak terlepas dari konsep
yang saya tawarkan sejak awal, apabila satu kelompok belajar terdiri dari 3-5
orang tentunya dalam satu kelompok tersebut memiliki interval kelas yang sama
itu dapat diberi satu pengajar. Apabila dalam ruangan terdiri dari 30 peserta
didik dibagi dalam 8 kelompok belajar dan semuanya berbeda kelas, setidaknya
membutuhkan pengajar sedikitnya 6-8 orang dalam satu proses pembelajaran.
Maksud dari metode tersebut diterapkan karena mengingat peserta didik yang saya
hadapi memiliki perilaku yang ekstrim, memiliki keterbatasan yang beragam
(keterbatasan satu anak dengan anak lainnya berbeda), memiliki umur atau
interval kelas yang berbeda tentunya tidak mungkin apabila diterapkan konsep
teacher centered atau students centered, karena itu saya bagi mereka kedalam kelompok-kelompok
kecil sesuai dengan interval kelas yang sama agar transfer ilmu akan dapat
terlaksana dengan baik.
Dalam
merubah perilaku peserta didik, yang semula tidak mengerti etika, kurangnya
pemahaman tentang agama, maka setiap kegiatan proses pembelajaran kita masuki
unsur-unsur agama sekaligus materi sekali pun, seperti sebelum atau sesudah
belajar dibiasakan berdo’a, ketika ada pengajar yang masuk dalam ruangan harus
berjabat tangan terlebih dahulu, duduk rapi dan jaga sikap sebelum proses pembelajaran
dimulai, dan tidak henti-hentinya memotivasi mereka dalam belajar.
Perlu
diingat bahwa partisipasi peserta didik sangatlah tinggi, terbukti secara
kuantitas dan rutinitas peserta didik cenderung tetap atau bahkan meningkat,
dari pihak orang tua pun telah sadar bahwa kegiatan semacam ini penting untuk
peningkatan pengetahuan, pemahaman, serta kompetensi yang mereka belum punyai
dibangku sekolah, makanya orang tua pun berbondong-bondong untuk menitipkan
anaknya ke kita. Kegiatan seperti ini mungkin kita anggap sebagai kegiatan yang
kecil namun bagi mereka adalah kegiatan yang memberikan efek besar, dan perlu
diingat lagi bahwa mereka sangat butuh bantuan kita.
Itulah
cerita pengalaman yang saya alami langsung, tidak ada rekayasa sedikit pun dalam
pembuatan laporan kali ini.
0 komentar:
Posting Komentar