;
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

4/26/2015 11:52:00 PM
0


Pengalaman saat mengajar anak jalanan di bantaran rel kereta api merupakan kegiatan saya yang pertama kali seumur hidup dan sampai kini masih berkesan di benak saya, kegiatan seperti itu pun saya lakukan sampai saat ini. Disini saya akan lebih banyak bercerita tentang pengalaman mengajar terkait metode, media, dan materi apa yang diberikan kepada mereka yang notabenenya mempunyai sikap yang begitu ‘ekstrim’ alias berbeda dengan anak normal pada umumnya.
Saya tergabung dalam ikatan pengajar anak jalanan sejak menduduki dimasa perkuliahan lebih tepatnya pada semester dua di jurusan PLS sekarang berganti nama PNF UNESA. Program yang saya ikuti itu merupakan buah hasil dari Proker Himpunan Mahasiswa Jurusan PNF, yaitu suatu program kerja yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat yang mungkin mereka belum sama sekali tersentuh pada dunia pendidikan atau sudah mendapatkan layanan pendidikan tetapi belum secara maksimal.
Pertama kali saat mengajar pun saya terkejut, kaget, shock melihat keadaan di lapangan ditambah lagi sikap mereka yang sulit diatur, kemampuan mereka seperti membaca, menulis, serta berhitung pun sangat miris sekali. Dengan rasa optimistis dari pengajar ingin meningkatkan kemampuan, pemahaman dan yang paling penting merubah perilaku mereka segera dapat terwujud, meskipun butuh waktu yang lama, serta perlu adanya metode-metode yang pas dalam proses pengajaran berlangsung.
Dengan berjalannya waktu, saya ditunjuk sebagai koordinator sekaligus penanggung jawab pada program tersebut menggantikan posisi kakak tingkat yang saat ini masih PKL di Jakarta, hal ini merupakan suatu apresiasi bagi saya, disisi lain saya mengemban tugas yang begitu berat. Saya mencoba berpikir berulang kali dalam menjalankan program kali ini, mulai merekrut pengajar yang berkompeten (tentu pengajarnya dari teman sendiri), membuat jadwal pengajar, memantau secara teknis dalam pengajaran, membuat silabus atau kurikulum namun kurikulum tersebut ditiadakan dikarenakan adanya keragaman umur, interval tingkatan kelas, serta kemampuan dalam menangkap materi. Oleh karena itu, kurikulum tersebut diganti dengan konsep ‘apa yang mereka butuhkan pasti kami beri’ misalnya, seorang peserta didik kurang memahami tentang materi X, maka kita sebagai pengajar harus memberikan penguatan, pemahaman materi sampai mereka benar-benar bisa, dalam konsep tersebut yang dirasa cocok untuk penerapan dalam proses pengajaran tersebut. Materi yang kita ajarkan pada kegiatan belajar-mengajar tergantung mereka butuhkan seperti Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, PKN, dan lain sebagainya.
Ketersediaan ruang, media atau fasilitas belajar yang sangat minim tidak sebanding jumlah peserta didik membuat proses belajar mengajar sangat terganggu, kadang kalanya mereka tidak focus dalam penerimaan materi. Dengan hal ini, saya mencoba melengkapi kekurangan-kekurangan tersebut dengan memasang poster pada dinding-dinding ruang, menyediakan meja, penerangan, memberikan buku bacaan, serta alat tulis kepada mereka, kadang kalanya juga memberikan metode belajar yang berbeda yaitu dengan memutarkan film edukatif agar mereka tidak mudah jenuh saat belajar, serta motivasi mereka akan meningkat.
Jika berbicara tentang metode yang diterapkan tentunya tidak terlepas dari konsep yang saya tawarkan sejak awal, apabila satu kelompok belajar terdiri dari 3-5 orang tentunya dalam satu kelompok tersebut memiliki interval kelas yang sama itu dapat diberi satu pengajar. Apabila dalam ruangan terdiri dari 30 peserta didik dibagi dalam 8 kelompok belajar dan semuanya berbeda kelas, setidaknya membutuhkan pengajar sedikitnya 6-8 orang dalam satu proses pembelajaran. Maksud dari metode tersebut diterapkan karena mengingat peserta didik yang saya hadapi memiliki perilaku yang ekstrim, memiliki keterbatasan yang beragam (keterbatasan satu anak dengan anak lainnya berbeda), memiliki umur atau interval kelas yang berbeda tentunya tidak mungkin apabila diterapkan konsep teacher centered atau students centered, karena itu saya bagi mereka kedalam kelompok-kelompok kecil sesuai dengan interval kelas yang sama agar transfer ilmu akan dapat terlaksana dengan baik.
Dalam merubah perilaku peserta didik, yang semula tidak mengerti etika, kurangnya pemahaman tentang agama, maka setiap kegiatan proses pembelajaran kita masuki unsur-unsur agama sekaligus materi sekali pun, seperti sebelum atau sesudah belajar dibiasakan berdo’a, ketika ada pengajar yang masuk dalam ruangan harus berjabat tangan terlebih dahulu, duduk rapi dan jaga sikap sebelum proses pembelajaran dimulai, dan tidak henti-hentinya memotivasi mereka dalam belajar.
Perlu diingat bahwa partisipasi peserta didik sangatlah tinggi, terbukti secara kuantitas dan rutinitas peserta didik cenderung tetap atau bahkan meningkat, dari pihak orang tua pun telah sadar bahwa kegiatan semacam ini penting untuk peningkatan pengetahuan, pemahaman, serta kompetensi yang mereka belum punyai dibangku sekolah, makanya orang tua pun berbondong-bondong untuk menitipkan anaknya ke kita. Kegiatan seperti ini mungkin kita anggap sebagai kegiatan yang kecil namun bagi mereka adalah kegiatan yang memberikan efek besar, dan perlu diingat lagi bahwa mereka sangat butuh bantuan kita.

Itulah cerita pengalaman yang saya alami langsung, tidak ada rekayasa sedikit pun dalam pembuatan laporan kali ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts