;
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

1/29/2014 03:38:00 AM
0



Aku hanya terdiam merasakan sepi yang terus menggerus jiwaku
Terkurung dalam penjara pekat nan mengerikan
Apalah arti sebuah raga bila kalbu telah menjadi sebuah abu
Haruskah aku melebur bersamanya dan mengakui dia sebagai teman?
Hingga akhirnya sebuah pancaran sinar datang membelah hitam
Membutakan mata dengan ribuan pedang yang menyerbu
Menarikku keluar yang dalam keadaan legam
Dan menerimaku meskipun dalam keadaan buta, tuli, bisu

Pada mulanya hanya ada gelap, tanpa cahaya dan warna
Hujan turun dengan lebat diluar. Saat aku masih berusaha mengingat pertanyaan yang masih terngiang dalam benakku. Bulan telah menghilang saat kumpulan awan hitam datang. Lenyap dan hilang. Saat itu kurasakan sesuatu mengalir dari kepala menuju dahi dan menetes di telapak tanganku. Ini adalah darah, kenapa aku bisa terluka? Dan dimana aku berada?
tenanglah anak muda, kau berada ditempat yang aman”jawab seorang pria tua yang perlahan menghampiriku.
“minumlah ini, untuk memulihkan tubuh dan lukamu” sambil memberikan secangkir ramuan.
Setelah meminum ramuan itu, seketika lukaku menjadi perih. Aku mengejang dan mengerang sejadi-jadinya. Kemudian melemas dan tak sadarkan diri. Hujan tak kunjung reda dan cahaya bulan serasa tak kuasa menembus pekatnya hitam yang mengerikan. Petir-petir pun mulai berdatangan dengan suara yang mampu memecahkan gendang telinga semua orang. Gelap telah mutlak berkuasa dan merampas sisa-sisa cahaya yang ada. Semuanya menjadi kelam dan tanpa kehidupan. Hingga akhirnya cahaya yang lebih terang datang menghapus semuanya.
Matahari mulai bergerak mengawali hari. Saat semburat jingga menyeruak menghiasi langit yang nampak bening sebening permata. Kupu-kupu mulai berterbangan kesana kemari seakan merayakan hari yang indah ini. Burung-burung berkicau sangat merdu seakan tak mau kalah dengan yang lain . bunga-bunga bermekaran, menampakkan kelopak yang beragam nan indah. Tak ada yang lebih indah dari hari ini. Waktu itu seberkas cahaya masuk melalui celah-celah jendela dan jatuh tepat diwajahku. Aku mulai tersadar dan beranjak dari ranjang. Aku tak merasakan sakit pada tubuhku, semuanya telah pulih seketika. Rupanya ramuan pak tua itu sangat berkhasiat.
“rupanya kau sudah tampak sehat sekarang, kau sudah tidur lama sekali anak muda, sebenarnya apa yang terjadi padamu?” tanya pak tua dari luar kamar
“siapa kau sebenarnya? Dan kenapa aku berada disini?” Tanyaku dalam keadaan bingung
“aku menemukanmu di tepian sungai seberang, dalam keadaan dalam keadaan kritis dan bersimbah darah, lalu aku membawamu kesini untuk sementara.”
“lalu kau telah tertidur selama 5 hari, ku kira kau sudah mati mengingat kau tak kunjung sadar. Sebenarnya apa yang terjadi pada dirimu?” Tambah pak tua itu.
“entahlah, semua masih terasa samar-samar sekarang, tapi aku ingat kejadian terakhir sebelumnya.”
Malam itu aku sedang berada di kota suncity. Sebenarnya aku tak ada urusan di kota tersebut. Tujuanku adalah merantau berkeliling bumi. Kota itu penuh dengan kemewahan, keagungan, bahkan keindahan. Kota yang bahkan tak pernah tidur dalam waktu singkat. Selalu dan selalu ramai dengan orang-orang yang berkeliaran dan berhamburan. Bahkan seramai sarang semut dan sebising sarang lebah. Tapi saat itu aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kejadian yang mengoyak jiwa siapa saja yang melihatnya. kejadian-kejadian klasik yang bahkan sering dianggap asik bagi sang pelaku. Dimana para wanita masih sering menawarkan cincin mereka, dan para lelaki berubah menjadi hewan-hewan buas yang saling berebut makanan atau untuk diakui sebagai yang terkuat di daerahnya. Bahkan tak segan untuk mengoyak daging siapa saja yang mampu menyalak. Bumi telah semakin tua. Dimana mereka adalah bibit-bibit penyakit yang mampu membelah diri dan berkembang biak melebihi kuman. Dan akhirnya bumi hanyalah sebuah nama. Tak ada yang mampu dikenang dari seluruh kejadian jika yang ada hanyalah ilusi. Lalu bagaimana semua ini dapat tertuntaskan jika tak ada yang mau dibenahi dan membenahi. Apakah harus berakhir menjadi puing-puing. Berakhir seperti debu yang terbang begitu saja ketika tertiup angin. Lalu saat sang maha menjelma menjadi murka, apa yang dapat dilakukan oleh sebuah ciptaan. Tak ada, selain hanya sekedar pasrah bahkan lari pun akan terasa percuma saja.
“lalu kenapa kau bisa terluka parah dan berada pada tepian sungai seberang?” tanya pak tua sambil meneguk segelas teh hangat.
“entahlah, itu masih samar-samar sekarang. Aku tak tahu apa yang membuatku terlempar begitu jauh kesini dan mendapatkan 8 luka jahitan serta banyak sekali luka memar ditubuhku.”
“sungguh, kau benar-benar beruntung anak muda. Sang maha masih mengharapkan kau tetap bernafas dan melanjutkan semuanya. Bahkan melanjutkan pencarian tentang dirimu.”
“lalu menurutmu apa yang harus kulakukan, pak tua? Apakah aku harus mengakhiri atau pergi secepat badai?”.
“jika kau merasa kehilangan dirimu, kembalilah ke tempat dimana kau kehilangan. Dan kau akan mengetahui semuanya.” Jawab pak tua dengan wajah tersenyum.
“orang yang tak tahu arah dan tujuan hidupnya adalah orang yang bodoh, bukankah aku ini bodoh pak tua?”.
“tak ada yang perlu kau ketahui karena kau cukup memahaminya. Lalu buatlah sang maha tersenyum lebar melihat dirimu mengepakkan sayap dan terbang.”
“tapi sekarang aku masih ragu, kemana ku harus melangkah dahulu atau arah mana yang akan ku tuju. Aku takut akan terhempas kedua kalinya dan akhirnya kesempatan tak akan lagi memihakku tetapi menertawakanku yang dalam keadaan tersungkur.”
“jika kau tak percaya mulutmu percayalah pada telingamu jika kau tak percaya telingamu percayalah pada matamu dan jika kau tak mempercayai semuanya mendekaplah pada sang maha dan kau akan menjadi sempurna.”
“Terbang dan tembuslah hitam dan kau akan melihat putih disana.” Tambah pak tua
“baiklah pak tua, besok aku akan pergi ke kota suncity untuk membuka semua tingkap misteri ini. Mungkin ini bisa saja menjadi pertemuan terakhir kita ataukah sebuah awal pertemuan. Yang pasti aku sangat berterima kasih padamu, pak tua.”
“berterima kasihlah pada sang maha, anak muda. Jika kau membutuhkan bantuanku kau hanya perlu datang kemari karena aku hanya tinggal menunggu sebuah giliran disini” Sembari melengkungkan senyum lebar diwajahnya.
Waktu berlalu secepat badai. Hingga hari yang ditunggu pun telah tiba. Saat sang mentari masih belum menampakkan batang hidungnya. Yang terlihat hanyalah langit yang masih tampak gelap dan sedikit warna jingga bertebaran disana. Seakan ingin melawan hitam yang mengangkuhkan dirinya. Saat itu aku segera berangkat dengan menunggangi seekor kuda milik pak tua dan beberapa persediaan makanan dalam keranjangku. Saat aku ingin mengucapkan perpisahan pada pak tua, kucari dia kemana-mana dan pada akhirnya aku tak berhasil menemukannya. Aku tak lagi menghiraukan kejadian itu karena yang kutuju adalah kota suncity. Saat itu aku lekas menunggangi kuda yang dengan segera berlari menembus padang ilalang, menyeberangi sungai dan menembus hutan belantara disana. Hingga pada akhirnya aku telah sampai disebuah tempat. Tempat yang tak asing bagiku saat ini tapi mengapa tak ada bangunan-bangunan megah atau gedung-gedung pencakar langit. Namun yang ada hanyalah puing-puing yang berserakan dan menggunung disana sini. Sebenarnya apa yang membuat kota sebesar dan semewah itu hancur dengan seketika bahkan menyapunya lenyap tanpa sisa dan hilang. Pikiranku dilanda badai seketika yang menyapu lenyapkan semuanya dari otakku bahkan sekarang otak kanan dan kiri dibuatnya bertukar posisi. Lalu siapa yang akan menjelaskan semuanya pada tubuh yang setengah mati ini.
Sesaat setelah itu aku menemukan seorang wanita yang sedang duduk sendiri diatas bongkahan batu besar. Kulihat tetes demi tetes jatuh membasahi tanah yang tandus. Wajahnya pucat pasih bagaikan telah kehilangan semua asa yang selama ini dia genggam dan jaga. Kuhampiri dia yang telah kehilangan separuh dirinya itu.
“apa yang sedang terjadi, nona?” tanyaku dengan wajah gugup
Dia memandangiku sejenak seakan berusaha mengenali wajahku. Bongkahan es berada ditengah kami sekarang. Aku masih menunggu dia berkata dan dia masih mengamatiu lekat-lekat seperti sedang melihat benda asing yang tiba-tiba jatuh kebumi. Hingga akhirnya perlahan dia tersemyum datar. Lama-lama aku merasa kesal dengan sifatnya itu yang tak kunjung menjawab pertanyaanku karena aku sendiripun juga sedang mencari sebuah jawaban.
“hei nona, apa kau tak merasa aku sedang menunggu jawabanmu!?”
“maaf, saat itu aku hanya merasa pernah bertemu dengan dirimu dan sekarang firasatku benar bahwa aku mengenal siapa dirimu. Dan kota 6 hari lalu kota suncity dilanda sebuah peristiwa mengerikan yang meratakan semua bangunan, memunahkan semua orang, dan bahkan membuat yang lain menangis ketakutan.
“apa kau bilang!? Kau mengenal siapa diriku? Apakah kita saudara atau kita pernah bertemu sebelumnya?”
“apa kau tak ingat sama sekali? Saat itu aku menemukanmu yang sedang pingsan di depan rumahku dalam suasana yang malam yang gelap gulita.”
“bahkan aku tak ingat sama sekali saat kejadian itu, lalu apa yang terjadi setelah itu?”
“pada pagi harinya kau telah sadar dan kau berkata bahwa kau seorang pengembara yang kebetulan sedang singgah di kota suncity. Kau tak mengatakan apa sebenarnya tujuanmu dan bahkan kau sama sekali tak membawa cadangan makanan atau uang yang kau bawa hanyalah beberapa pakaian.”
“lalu bagaimana tentang namaku? Apa kau mengetahuinya? Entah mengapa aku telah lupa namaku sendiri.”
“Edward law, ya itu adalah namamu. Lalu kenapa kau kembali kesini?”
“Edward law? Itukah namaku?”
Wanita itu hanya tersemyum kearahku. Wajahnya kembali cerah tak lagi mendung seperti sebelumnya bahkan bayangan pelangi telah nampak dimatanya.
“sekarang aku hanya bingung. Mengapa semua yang buruk harus berakhir binasa? Apa kesempatan sudah lenyap dan sirna bagi mereka? Apakah ini yang dinamakan keadilan?” jawab wanita itu yang kembali menangis lirih.
“bukan kesempatan yang telah lenyap atau kekejaman sang maha tetapi mereka semua telah memilih, memilih jalan mereka untuk tetap mendekap erat keburukan.”
“lalu apa yang harus kulakukan sekarang?”
“menata kembali apa yang telah hancur, membersihkan kembali yang telah kotor, dan menulis kembali yang telah lama kosong.” Jawabku sambil tensenyum lebar padanya.
“baiklah nona, kurasa aku sudah cukup tahu tentang semuanya”.
“lalu sekarang kau akan pergi kembali? Pergi mengendarai badai yang melaju secepat cahaya? Bisakah esok kita bertemu kembali, mungkin hanya sekedar berbincang?”
“lalu bagaimana kau bisa menemukanku di dunia yang luas ini, nona?”
“dimana ada gelap disitu ada kau yang berusaha untuk bersinar kuat dihadapannya.”
“baiklah kuharap begitu pula dan semoga kau beruntung, erza.”Sambil tersenyum manis dan kemudian perlahan pergi meninggalkannya.
Aku meninggalkanya yang tetap duduk sambil melihatku yang perlahan menjauh dan akhirnya hilang. Pertemuan ada untuk perpisahan karena semua mengandung masa dan tak ada yang abadi. Aku terus berjalan melintasi jalan sepi dan kembali bertanya. Lalu sekarang kemana tujuanku ataukah sudah cukup kuakhiri perjalanan ini atau tetap kulanjutkan untuk tetap mendekap pada kesejatian. Ada baiknya bila kuteruskan saja perjalanan ini karena aku juga perlu banyak belajar sekarang. Sebelum akhirnya aku benar-benar pulang nantinya. Aku menepi dan duduk di bawah sebuah pohon untuk melepas penat sesaat. Dan saat itu aku kembali mengingat perkataan pak tua. Terbang dan tembuslah hitam dan kau akan melihat putih disana. Ternyata pak tua benar, saat itu aku sedang berada dalam kendali hitam dan tak mampu melihat apa-apa dalam keadaan pekat. Lalu pak tua datang meraih tanganku menarikku bangkit dan keluar dari belenggu. Terimakasih pak tua karena kini semua telah jelas dan yang tersisa hanyalah aku.


0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts