Aku hanya terdiam merasakan sepi yang terus
menggerus jiwaku
Terkurung dalam penjara pekat nan mengerikan
Apalah arti sebuah raga bila kalbu telah menjadi
sebuah abu
Haruskah aku melebur bersamanya dan mengakui dia sebagai
teman?
Hingga akhirnya
sebuah pancaran sinar datang membelah hitam
Membutakan mata
dengan ribuan pedang yang menyerbu
Menarikku keluar
yang dalam keadaan legam
Dan menerimaku
meskipun dalam keadaan buta, tuli, bisu
Pada
mulanya hanya ada gelap, tanpa cahaya dan warna
Hujan turun
dengan lebat diluar. Saat aku masih berusaha mengingat pertanyaan yang masih
terngiang dalam benakku. Bulan telah menghilang saat kumpulan awan hitam
datang. Lenyap dan hilang. Saat itu kurasakan sesuatu mengalir dari kepala
menuju dahi dan menetes di telapak tanganku. Ini adalah darah, kenapa aku bisa terluka? Dan dimana aku berada?
“tenanglah anak muda,
kau berada ditempat yang aman”jawab seorang pria tua yang perlahan
menghampiriku.
“minumlah ini,
untuk memulihkan tubuh dan lukamu” sambil memberikan secangkir ramuan.
Setelah meminum
ramuan itu, seketika lukaku menjadi perih. Aku mengejang dan mengerang
sejadi-jadinya. Kemudian melemas dan tak sadarkan diri. Hujan tak kunjung reda
dan cahaya bulan serasa tak kuasa menembus pekatnya hitam yang mengerikan.
Petir-petir pun mulai berdatangan dengan suara yang mampu memecahkan gendang
telinga semua orang. Gelap telah mutlak berkuasa dan merampas sisa-sisa cahaya
yang ada. Semuanya menjadi kelam dan tanpa kehidupan. Hingga akhirnya cahaya
yang lebih terang datang menghapus semuanya.
Matahari mulai
bergerak mengawali hari. Saat semburat jingga menyeruak menghiasi langit yang
nampak bening sebening permata. Kupu-kupu mulai berterbangan kesana kemari
seakan merayakan hari yang indah ini. Burung-burung berkicau sangat merdu
seakan tak mau kalah dengan yang lain . bunga-bunga bermekaran, menampakkan
kelopak yang beragam nan indah. Tak ada yang lebih indah dari hari ini. Waktu
itu seberkas cahaya masuk melalui celah-celah jendela dan jatuh tepat
diwajahku. Aku mulai tersadar dan beranjak dari ranjang. Aku tak merasakan sakit pada tubuhku, semuanya telah pulih seketika.
Rupanya ramuan pak tua itu sangat berkhasiat.
“rupanya kau sudah
tampak sehat sekarang, kau sudah tidur lama sekali anak muda, sebenarnya apa
yang terjadi padamu?” tanya pak tua dari luar kamar
“siapa kau
sebenarnya? Dan kenapa aku berada disini?” Tanyaku dalam keadaan bingung
“aku menemukanmu
di tepian sungai seberang, dalam keadaan dalam keadaan kritis dan bersimbah
darah, lalu aku membawamu kesini untuk sementara.”
“lalu kau telah
tertidur selama 5 hari, ku kira kau sudah mati mengingat kau tak kunjung sadar.
Sebenarnya apa yang terjadi pada dirimu?” Tambah pak tua itu.
“entahlah, semua
masih terasa samar-samar sekarang, tapi aku ingat kejadian terakhir
sebelumnya.”
Malam itu aku
sedang berada di kota suncity. Sebenarnya
aku tak ada urusan di kota tersebut. Tujuanku adalah merantau berkeliling bumi.
Kota itu penuh dengan kemewahan, keagungan, bahkan keindahan. Kota yang bahkan
tak pernah tidur dalam waktu singkat. Selalu dan selalu ramai dengan
orang-orang yang berkeliaran dan berhamburan. Bahkan seramai sarang semut dan
sebising sarang lebah. Tapi saat itu aku melihat dengan mata kepalaku sendiri.
Kejadian yang mengoyak jiwa siapa saja yang melihatnya. kejadian-kejadian klasik
yang bahkan sering dianggap asik bagi sang pelaku. Dimana para wanita masih
sering menawarkan cincin mereka, dan para lelaki berubah menjadi hewan-hewan
buas yang saling berebut makanan atau untuk diakui sebagai yang terkuat di
daerahnya. Bahkan tak segan untuk mengoyak daging siapa saja yang mampu
menyalak. Bumi telah semakin tua. Dimana mereka adalah bibit-bibit penyakit
yang mampu membelah diri dan berkembang biak melebihi kuman. Dan akhirnya bumi
hanyalah sebuah nama. Tak ada yang mampu dikenang dari seluruh kejadian jika
yang ada hanyalah ilusi. Lalu bagaimana semua ini dapat tertuntaskan jika tak
ada yang mau dibenahi dan membenahi. Apakah harus berakhir menjadi puing-puing.
Berakhir seperti debu yang terbang begitu saja ketika tertiup angin. Lalu saat
sang maha menjelma menjadi murka, apa yang dapat dilakukan oleh sebuah ciptaan.
Tak ada, selain hanya sekedar pasrah bahkan lari pun akan terasa percuma saja.
“lalu kenapa kau
bisa terluka parah dan berada pada tepian sungai seberang?” tanya pak tua sambil
meneguk segelas teh hangat.
“entahlah, itu
masih samar-samar sekarang. Aku tak tahu apa yang membuatku terlempar begitu
jauh kesini dan mendapatkan 8 luka jahitan serta banyak sekali luka memar
ditubuhku.”
“sungguh, kau
benar-benar beruntung anak muda. Sang maha masih mengharapkan kau tetap
bernafas dan melanjutkan semuanya. Bahkan melanjutkan pencarian tentang
dirimu.”
“lalu menurutmu
apa yang harus kulakukan, pak tua? Apakah aku harus mengakhiri atau pergi
secepat badai?”.
“jika kau merasa
kehilangan dirimu, kembalilah ke tempat dimana kau kehilangan. Dan kau akan
mengetahui semuanya.” Jawab pak tua dengan wajah tersenyum.
“orang yang tak
tahu arah dan tujuan hidupnya adalah orang yang bodoh, bukankah aku ini bodoh
pak tua?”.
“tak ada yang
perlu kau ketahui karena kau cukup memahaminya. Lalu buatlah sang maha
tersenyum lebar melihat dirimu mengepakkan sayap dan terbang.”
“tapi sekarang
aku masih ragu, kemana ku harus melangkah dahulu atau arah mana yang akan ku
tuju. Aku takut akan terhempas kedua kalinya dan akhirnya kesempatan tak akan
lagi memihakku tetapi menertawakanku yang dalam keadaan tersungkur.”
“jika kau tak
percaya mulutmu percayalah pada telingamu jika kau tak percaya telingamu
percayalah pada matamu dan jika kau tak mempercayai semuanya mendekaplah pada
sang maha dan kau akan menjadi sempurna.”
“Terbang dan
tembuslah hitam dan kau akan melihat putih disana.” Tambah pak tua
“baiklah pak
tua, besok aku akan pergi ke kota suncity
untuk membuka semua tingkap misteri ini. Mungkin ini bisa saja menjadi
pertemuan terakhir kita ataukah sebuah awal pertemuan. Yang pasti aku sangat
berterima kasih padamu, pak tua.”
“berterima
kasihlah pada sang maha, anak muda. Jika kau membutuhkan bantuanku kau hanya
perlu datang kemari karena aku hanya tinggal menunggu sebuah giliran disini”
Sembari melengkungkan senyum lebar diwajahnya.
Waktu berlalu
secepat badai. Hingga hari yang ditunggu pun telah tiba. Saat sang mentari
masih belum menampakkan batang hidungnya. Yang terlihat hanyalah langit yang
masih tampak gelap dan sedikit warna jingga bertebaran disana. Seakan ingin
melawan hitam yang mengangkuhkan dirinya. Saat itu aku segera berangkat dengan
menunggangi seekor kuda milik pak tua dan beberapa persediaan makanan dalam
keranjangku. Saat aku ingin mengucapkan perpisahan pada pak tua, kucari dia
kemana-mana dan pada akhirnya aku tak berhasil menemukannya. Aku tak lagi
menghiraukan kejadian itu karena yang kutuju adalah kota suncity. Saat itu aku lekas menunggangi kuda yang dengan segera
berlari menembus padang ilalang, menyeberangi sungai dan menembus hutan
belantara disana. Hingga pada akhirnya aku telah sampai disebuah tempat. Tempat
yang tak asing bagiku saat ini tapi mengapa tak ada bangunan-bangunan megah
atau gedung-gedung pencakar langit. Namun yang ada hanyalah puing-puing yang
berserakan dan menggunung disana sini. Sebenarnya apa yang membuat kota sebesar
dan semewah itu hancur dengan seketika bahkan menyapunya lenyap tanpa sisa dan
hilang. Pikiranku dilanda badai seketika yang menyapu lenyapkan semuanya dari
otakku bahkan sekarang otak kanan dan kiri dibuatnya bertukar posisi. Lalu
siapa yang akan menjelaskan semuanya pada tubuh yang setengah mati ini.
Sesaat setelah
itu aku menemukan seorang wanita yang sedang duduk sendiri diatas bongkahan
batu besar. Kulihat tetes demi tetes jatuh membasahi tanah yang tandus.
Wajahnya pucat pasih bagaikan telah kehilangan semua asa yang selama ini dia
genggam dan jaga. Kuhampiri dia yang telah kehilangan separuh dirinya itu.
“apa yang sedang
terjadi, nona?” tanyaku dengan wajah gugup
Dia memandangiku
sejenak seakan berusaha mengenali wajahku. Bongkahan es berada ditengah kami
sekarang. Aku masih menunggu dia berkata dan dia masih mengamatiu lekat-lekat
seperti sedang melihat benda asing yang tiba-tiba jatuh kebumi. Hingga akhirnya
perlahan dia tersemyum datar. Lama-lama aku merasa kesal dengan sifatnya itu
yang tak kunjung menjawab pertanyaanku karena aku sendiripun juga sedang
mencari sebuah jawaban.
“hei nona, apa
kau tak merasa aku sedang menunggu jawabanmu!?”
“maaf, saat itu
aku hanya merasa pernah bertemu dengan dirimu dan sekarang firasatku benar
bahwa aku mengenal siapa dirimu. Dan kota 6 hari lalu kota suncity dilanda sebuah peristiwa mengerikan yang meratakan semua
bangunan, memunahkan semua orang, dan bahkan membuat yang lain menangis
ketakutan.
“apa kau
bilang!? Kau mengenal siapa diriku? Apakah kita saudara atau kita pernah
bertemu sebelumnya?”
“apa kau tak
ingat sama sekali? Saat itu aku menemukanmu yang sedang pingsan di depan
rumahku dalam suasana yang malam yang gelap gulita.”
“bahkan aku tak
ingat sama sekali saat kejadian itu, lalu apa yang terjadi setelah itu?”
“pada pagi
harinya kau telah sadar dan kau berkata bahwa kau seorang pengembara yang
kebetulan sedang singgah di kota suncity.
Kau tak mengatakan apa sebenarnya tujuanmu dan bahkan kau sama sekali tak
membawa cadangan makanan atau uang yang kau bawa hanyalah beberapa pakaian.”
“lalu bagaimana
tentang namaku? Apa kau mengetahuinya? Entah mengapa aku telah lupa namaku
sendiri.”
“Edward law, ya
itu adalah namamu. Lalu kenapa kau kembali kesini?”
“Edward law?
Itukah namaku?”
Wanita itu hanya
tersemyum kearahku. Wajahnya kembali cerah tak lagi mendung seperti sebelumnya
bahkan bayangan pelangi telah nampak dimatanya.
“sekarang aku
hanya bingung. Mengapa semua yang buruk harus berakhir binasa? Apa kesempatan
sudah lenyap dan sirna bagi mereka? Apakah ini yang dinamakan keadilan?” jawab
wanita itu yang kembali menangis lirih.
“bukan
kesempatan yang telah lenyap atau kekejaman sang maha tetapi mereka semua telah
memilih, memilih jalan mereka untuk tetap mendekap erat keburukan.”
“lalu apa yang
harus kulakukan sekarang?”
“menata kembali
apa yang telah hancur, membersihkan kembali yang telah kotor, dan menulis
kembali yang telah lama kosong.” Jawabku sambil tensenyum lebar padanya.
“baiklah nona,
kurasa aku sudah cukup tahu tentang semuanya”.
“lalu sekarang
kau akan pergi kembali? Pergi mengendarai badai yang melaju secepat cahaya?
Bisakah esok kita bertemu kembali, mungkin hanya sekedar berbincang?”
“lalu bagaimana
kau bisa menemukanku di dunia yang luas ini, nona?”
“dimana ada
gelap disitu ada kau yang berusaha untuk bersinar kuat dihadapannya.”
“baiklah kuharap
begitu pula dan semoga kau beruntung, erza.”Sambil tersenyum manis dan kemudian
perlahan pergi meninggalkannya.
Aku
meninggalkanya yang tetap duduk sambil melihatku yang perlahan menjauh dan
akhirnya hilang. Pertemuan ada untuk perpisahan karena semua mengandung masa
dan tak ada yang abadi. Aku terus berjalan melintasi jalan sepi dan kembali
bertanya. Lalu sekarang kemana tujuanku ataukah sudah cukup kuakhiri perjalanan
ini atau tetap kulanjutkan untuk tetap mendekap pada kesejatian. Ada baiknya
bila kuteruskan saja perjalanan ini karena aku juga perlu banyak belajar
sekarang. Sebelum akhirnya aku benar-benar pulang nantinya. Aku menepi dan
duduk di bawah sebuah pohon untuk melepas penat sesaat. Dan saat itu aku
kembali mengingat perkataan pak tua. Terbang
dan tembuslah hitam dan kau akan melihat putih disana. Ternyata pak tua
benar, saat itu aku sedang berada dalam kendali hitam dan tak mampu melihat
apa-apa dalam keadaan pekat. Lalu pak tua datang meraih tanganku menarikku
bangkit dan keluar dari belenggu. Terimakasih
pak tua karena kini semua telah jelas dan yang tersisa hanyalah aku.
0 komentar:
Posting Komentar