Sejak awal tahun 1980-an di tanah air
terjadi perubahan nama Jurusan/Program Studi dari pendidikan sosial (PS)
menjadi pendidikan luar sekolah (PLS). Setelah berjalan 30 tahun lebih,
menggunakan nama PLS maka dengan turunnya surat dari Kementian Pendidikan dan
Kebudayaan RI nomor 2300/E3/2014, tertanggal 28 Mei lalu, yang menawarkan
perubahan Nomenklatur Program Studi. Maka pada hari kamis 26 Juni 2014 seluruh
dosen jurusan/Program PLS se-Indonesia bertemu di hotel Griyo AVI Jalan Raya Darmo
nomor 6. tepatnya jam 15.00 bersepakat merubah nomenklatur dari
jurusan/Program studi PLS menjadi Program studi Pendidikan Nonformal.
Pertemuan tokoh-tokoh Pendidikan Luar
Sekolah itu baik dosen maupun guru besar ternyata tidak berkeberatan merubah nomenklatur
itu, karena nama PLS sudah seperempat abad lebih digunakan. Selain itu nama
Dirjen yang ada di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan juga berubah beberapa
tahun silam. Sehingga banyak pertanyaan dari berbagai kalangan kenapa
jurusan/program studinya tidak berubah. Hal ini terjawab sudah.
Dengan hasil kesepakatan pertemuan Forum
Komunikasi Jurusan PLS dan Ikatan Akademisi Pendidikan Nonformal Indonesia
tentang perubahan nomenklatur Program Studi ini, diharapkan: (1) Dirjen
Pendidikan Tinggi (DIKTI) akan mencatumkan nama Program yang benar dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris. Disertai dengan kode di PDPT. (2) diharapkan
Dirjen Dikti akan mensosialisasikan nama program studi yang baru baik dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, beserta kode, kepada seluruh kementrian
teknis terkait maupun kepada dunia usaha dan kerja untuk memudahkan proses
rekuitmen.
Selain hal-hal di atas Program Studi
Pendidikan Nonformal yang dalam sebuatan baru ini, akan dapat turut serta dalam
menyambut: Asean Singgle Economic Cummunity tahun 2015 yang akan datang dari
lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia didorong untuk masuk ke pasar global
melalui proses penyetaraan pengakuan program studi antara yang diselenggarakan
di Indonesia dan di luar negeri.
Tugas pendidikan nonformal ini tidak
berubah. Karena sudah menjadi suatu kewajiban bagi dosen, guru besar dan
mahasiswa untuk membantu pemerintah dalam penuntasan Keaksaraan yang ada di
negeri kita ini, dan masih banyak yang harus dibenahi. Selain itu juga
pembinaan ke berbagai pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) lembaga kursus
dan pelatihan (LKP) pata tutor, instruktur, widyaiswara, pamong belajar,
penilik dan berbagai pekerja pendidikan nonformal lainnya yang tak dapat kami
sebutkan satu persatu dalam kesempatan ini.
Mengapa beberapa waktu lalu terjadinya
ledakan penduduk dalam hal tuna aksara? Jawabnya di tahun 1986 atau pertengahan
tahun delapan puluhan muncul isi yang menyebutkan:”... prodi PLS yang ada di
dilingkungan Fakultas Kefuruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di luar IKIP tidak
dibenarkan nemerima mahasiswa baru...”. Akhirnya awal tahun sembilan puluhan,
PLS yang berada di Universitas (FKIP) tidak ada mahasiswa. Dosen-dosennya
mutasi ke tempat lain atau ke IKIP. Saat itu yang bertahan di tanah air hanya 2
PLS yakni: PLS FKIP Unpar (Kalteng) dan PLS FKIP Jember (Jatim). Selebihnya
tidak berani menerima mahasiswa baru. Akibatnya ledakan tuna aksara luar biasa
di kantung-kantong yang tidak ada prodi PLS. Siapa yang salah? Jawabnya cari
asal-usul yang menghembuskan info itu. Mereka-mereka yang menghembuskan PLS
supaya ditutup itulah yang paling berdosa terhadap negara. Karena jumlah buta
aksara saat itu selalu meningkat.
Jurusan Prodi PLS itu sejak awal berdiri
diberi nama pendidikan masyarakat, berubah lagi ke pendidikan sosial dan dari
pendidikan sosial berubah menjadi PLS. Sehingga berubah sebut itu tidak
menjadikan persoalan. Karena nama Dirjen-nya juga sekarang berubah-ubah. Yang
sekarang diberi nama Dirjen pendidikan non dan Informal.
0 komentar:
Posting Komentar